Jumat, 19 Desember 2008

Tulisan Dari Mas Prie GS

DISAYAT, DIGUNDULI, DISETERIKA

JUDUL di atas bukan gambaran pemandangan di sebuah kamp penyiksaan melainkan cukup terjadi di rumah Apriyani, di Cibeber Bekasi. Di rumah itulah, selama dua bulan, ia dikabarkan menganiaya pembantunya, Haryanti, wanita asal Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.

Selama itulah, setiap kesalahan kecil, berarti bencana bagi Haryanti. Bencana itu bisa berupa pukulan balok kayu, jambakan dan sayatan pisau. Puncaknya adalah ketika kepala pembantu itu digunduli dan pahanya diseterika. Oya, dalam aksi aniaya itu, Apriyanti tidak sendiri. Ia juga dibantu anak lelakinya yang mulai pintar menghantamkan balok kayu ke tubuh sang pembantu. Bantuan ini termasuk luar biasa mengingat si anak baru duduk di kelas 1 SD.

Cerita di atas setidaknya membuktikan dua hal. Pertama, betapa praktek perbudakan belum selesai di Indonesia. Kedua, betapa masih serius hambatan usaha pemberdayaan dan penyadaran perempuan.

Soal perbudakan itu, kita memang pernah sangat sukses mengadopsi kebiasan kaum feodal, meski kita cuma feodal gadungan. Di masa lalu, siapapun kita, meskipun bukan priyayi beneran, sepanjang telah bisa mengangkat pembantu, akan langsung mendapat sebutan bendara. Para pembantu itu, berapapun kita bayar, ia datang kepada kita tak lebih untuk ngenger, untuk suwita atau mengabdi. Maka status mereka adalah abdi. Bagi seorang abdi, jangankan bicara soal bayaran tinggi, diizinkan untuk mengabdi pun sudah merupakan anugerah. Maka kekuasaan bendara pada abdinya nyaris mutlak. Kalau perlu boleh main sayat dan main seterika seperti yang terjadi di Bekasi itu.

Sekarang soal pemberdayaan dan penyadaran perempuan itu. Betapa lambat usaha ke arah ini berjalan. Ketika biro-biro jasa mendidik para pekerja, rasanya mereka cuma mengajari bagaimana cara merawat bayi, mencuci dan menyeterika. Mereka tidak diajari, misalnya, agar segera lapor polisi jika dianiaya, agar secepatnya menunjuk pengacara jika hak-haknya terganggu. Tips mengatasi majikan sadis adalah kurikulum yang tak pernah ditanamkan di benak mereka.

Kesadaran atas persoalan-persoalan hukum praktis, kesadaran atas hak-hak profesi, seperti sengaja dijauhkan dari mereka. Betapa mereka sengaja didesain sebagai mesin. Tak pernah diyakinkan bahwa mereka bukan jongos, melainkan para profesional.

Maka orang-orang ini harus berani pasang harga, kalau perlu menolak sebutan pembantu yang meremehkan itu. Bahwa menanak nasi dan merawat bayi harus dianggap sama susahnya dengan membangun jembatan layang dan gedung-gedung tinggi. Orang yang menganggap pekerjaan pembantu sebagai murahan, biarkan menangani pekerjaan itu sendiri. Biarlah Michael Jackson menyeterika bajunya sendiri. Biarlah para pejabat, pengusaha, tauke, insinyur, dokter... ngepel lantai mereka sendiri.

Ya, kaum wanita, baik yang tengah menjadi pembantu maupun para ibu rumah tangga, sebaiknya segera menyadari hal ini. Jika suami Anda adalah orang yang gemar main pukul dan menganiaya, laporklan saja ke polisi. Jika status perkawinanmu digantung, jika dia menyiksamu dengan cara enggan menceraikanmu, tunjuk pengacara untuk membelamu. Buktikan bahwa engkau bukan pihak yang gampang diremehkan dan disakiti. Tapi betapa banyak para wanita yang memilih menahan deritanya secara sembunyi-sembunyi.

Nasihat ini bukan untuk mengajarimu menjadi wanita kurangajar, melainkan sekadar untuk mengingatkan bahwa engkau tak selemah yang engkau duga. Tahukah engkau kenapa Haryanti sampai bisa diseterika dan digebuki bahkan oleh anak SD? Salah satunya ialah karena ia tak pernah memberikan perlawanan apa-apa. Ia selama ini lebih percaya bahwa dirinya adalah abdi yang bahkan kepalanya boleh begitu saja digunduli. (cn01)

(PrieGS/)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda