Sabtu, 27 Desember 2008

Tulisan Mohammad Sobary

DUNIA KECIL DI DESAKU

Hubungan orang-orang di desa saya mulanya tak begitu
menarik, seperti tak mempunyai arti khusus. Di sana ada Kang
Jomono, petani gurem, yang tak fasih mengucapkan dua kalimat
sahadat ketika kawin dulu tapi sampai sekarang hidupnya ayem
dan rileks.

Ada juga Mbah Wali, juragan kayu yang makmur, sudah dua kali
pergi naik haji. Ilmu agamanya tak sedalam yang ia bayangkan
sendiri, tapi jelas ia santri fanatik.

Kemudian ada Den Joyo, pensiunan mantri kehutanan. Ia masih
trah darah biru. Gaya hidupnya masih ingin melanjutkan
tradisi kehidupan aristokrasi. Tak lazim di desa miskin di
Bantul, rumahnya berpagar tembok tinggi. Di bagian depan ada
gapura, sebuah tiruan kecil gaya bangunan kraton.

Sering Kang Jomono buruh pada Mbah Wali, mengangkut almari
yang baru jadi ke rumah pemesan yang jauh. Hasil serabutan
ini lumayan buat Yu Jiah, istrinya. Tapi Kang Jomono
menunjukkan gejala tak betah.

"Aku tak tahan didakwahi terus, Yah", katanya suatu hari. Ya
sudah. Yu Jiah manut saja. Terserah apa maunya Kang Jomono.

Kang Jomono, yang oleh Mbah Wali disebut abangan itu,
sebetulnya bukan anti agama. Jauh di dasar hatinya ia pun
Islam. Sering ia mengatakan, rak mung mergo dereng nindakke,
hanya karena belum menjalankan (syariah Islam); khas
ungkapan keagamaan petani Jawa yang buta huruf.

Dibanding Mbah Wali dan Den Joyo, Kang Jomono hanya
setingkat punakawan. Orang bisa menyuruh-nyuruh, dan mudah
menertawakannya.

Dan seperti layaknya punakawan, ia sering jenaka
menertawakan diri sendiri atau orang lain. Ia pun bisa
sinis. Pandai ngekik balik bila mau. Tentu saja, semua itu
terutama bila tak langsung berhadapan.

Umum, contohnya, memanggil haji tua itu Mbah Wali. Kang
Jomono enak saja memanggil "kajine": harfiah berarti
hajinya. Terasa di sini sinisme yang tandas.

Bentuk hubungan pun jelas jadinya: kecuali kerja sama,
seperti lazimnya di desa, antagonisme pun nampak tajam. Saya
mengamati baik-baik. Ternyata, mereka mewakili tiga varian
penting: abangan, santri, priyayi, sebagaimana dirumuskan
dalam The Relig1on of Java oleh Clifford Geertz yang masyhur
itu.

Sebagai santri Mbah Wali berpegang pada ajaran, bayar
buruh-buruhmu sebelum keringat mereka mengering. Dan
buruh-buruh itu, termasuk Kang Jomono, senang dengan
ketepatan Mbah Wali membayar.

Haji tua yang nama sebenarnya Walidin itu mempunyai dua
macam pantangan: pantang menunda pembayaran buruh, pantang
orang meminjam uang kepadanya.

Sulit disangkal, Mbah Wali memang murah dalam berbagai hal.
Murah senyum. Murah nasihat. Dan bila sedang memperlihatkan
kehajiannya, di atas kendaraan pun orang yang baru
dikenalnya didakwahi juga. Tapi bila urusannya menyangkut
uang, tua-tua masih getol ngotot. Ini bisa dimengerti,
karena Mbah Wali pedagang. Kepada Tuhan pun pada dasarnya ia
bersikap dagang.

Pernah ketika Yu Jiah keguguran, Kang Jomono bermaksud
meminjam uang buat membelikan Yu Jiah jamu sehat. Apa kata
Mbah Wali? Sebagus-bagusnya harta ialah hasil cucuran
keringat, bukan pinjaman.

Kang Jomono memendam semacam rasa kecewa. Makin berani saja
jadinya ia menyebut kajine, atau memberi ejekan baru kaum
nggoiril, diambil dari ghairil... dalam surat al-Fatihah.

Jamaah masjid jengkel mendengar ejekan itu. Tapi Mbah Wali
bisa toleran. Soalnya sering ia memaki Jomono si "kapir"
(kafir).

Ketegangan memuncak suatu hari ketika dengan sewot Mbah Wali
menegur: "No, kamu ini kok tidak sopan to No".

"Kenapa to Mbah"?

"Lha merokok di depan orang puasa itu apa kamu kira?
Gethuk"?

"Yang puasa rak bulan to Mbah, bukan saya".

"O ..., lha yo dasar si kapir, wong abangan. Tahu artinya
kapir? Kapiran, celaka. E, ala No ..., No. Mbok ingat, kelak
akan mati. Mati belum tentu nunggu tua Iho No."

Kang Jomono mangkel. Tapi ia tak lalu patah. Ada saja
jawabnya.

"Lha sampeyan bisa begitu rak karena dompet sampeyan penuh
duit. Coba sampeyan miskin seperti saya. Belum tentu jadi
nggoiril."

Mbah Wali diam. Kang Jomono dianggap neranyak, melunjak
berlebihan.

Den Joyo pun orang kaya. Sawahnya luas. Ia juga butuh buruh
untuk menggarap sawah. Ia sendiri tak pernah memegang
cangkul. Sekarang, sejak pensiun, kesibukan utamanya
mengurus perkutut. Kadang-kadang menghadiri pertemuan
kelompok kebatinan.

Sejak kecewa dengan Mbah Wali, Kang Jomono pindah menjadi
buruh Den Joyo. Ia betah di sana. Kecuali bisa minum teh
manis dan makan sekenyangnya, bayarannya pun bagus. Ia
bahkan boleh mengambil bayaran di muka, baru kemudian
bekerja.

Den Joyo memang baik. Ia selalu sedia memberikan pertolongan
siapa pun yang memerlukannya. Sifat begitu memang yang
diharapkan dari orang kaya oleh orang macam Kang Jomono.
Sebagai imbalan, mereka yang miskin "membayar" kemurahan itu
dengan penghormatan yang tulus, bukan basa-basi.

Rupanya benar kata James Scott, orang kaya diakui sah
kekayaannya hanya bila ia murah dan dermawan kepada yang
miskin.

Anehnya, kemurahan Den Joyo dikritik Mbah Wali sebagai tak
mendidik, hanya menimbulkan ketergantungan dan membikin
orang macam Kang Jomono tambah malas.

Den Joyo pura-pura tak mendengar kritik itu. Ia tahu, Mbah
Wali sedang berusaha menutupi sifat pelitnya.

Meskipun begitu hubungan tetap baik. Waktu Den Joyo sakit
Mbah Wali datang membawa ramuan obat.

Sakit Den Joyo sembuh. Tapi sakit yang lain, sakit hati,
muncul ketika Mbah Wali menasihati: Den, sakit ini akan
hilang selamanya bila Den Joyo mau salat. Sebaiknya kita
salat sebelum disalatkan.

Den Joyo tersinggung berat. Tapi ia tak memberikan langsung
reaksinya, kecuali "ya, ya, Mbah Wali," dan dalam hati
menggerutu: "apa hanya seorang haji yang punya Tuhan?"

Ketika Mbah Wali hajatan, semua diundang kenduri. Den Joyo
tak mau hadir. Ia malas ketemu Mbah Wali. Dan diplomasi pun
sementara putus.

1965, peristiwa G 30 S meletus. Tatanan mendadak dijungkir-
balikkan. Ketakutan masal merayap dari rumah ke rumah
tanpa mengetuk pintu. Banyak orang diciduk. Setidaknya buat
diminta KODIM menjelaskan siapa dia.

Dalam ketakutan yang mencekam waktu itu, orang butuh
definisi diri yang jelas. Terutama orang macam Kang Jomono,
abangan, yang disejalurkan dengan PKI.

Masjid pun tiba-tiba penuh. Kang Jomono nampak di antara
jamaah. Dan dengan pici hitam yang dibeli di Sanden itu
identitas pun kini jelas: Muslim.

Kang Sejo, Kang Katir, Kang Suji, Kang Parmin, Lik Renggo
yang dulu BTI, Yu Senik yang Gerwani dan Kami yang aktif di
Lekra, semua bagai terbius mantra gaib, tunduk mendengar
khotbah-khotbah Mbah Wali.

Ada semacam perasaan menang dalam diri haji tua itu. Dan
perasaan itu sering diperlihatkan pada Kang Jomono. Tapi
Kang Jomono tak peduli. Hidupnya yang miskin lebih berat
ketimbang soal "kalah" dan "menang". Ia kini berprinsip:
hidup ini sudah susah, jadi jangan ditambah susah lagi.

---------------
Mohammad Sobary, Media Indonesia, Rabu 19 April 1989

Senin, 22 Desember 2008

tulisan mohammad sobary

KESALEHAN SOSIAL, KESALEHAN RITUAL

Ketika dalam Robohnya Surau Kami A.A. Navis memasukkan Haji
Saleh (yang yakin bakal masuk sorga itu) ke neraka,
sebenarnya ia sedang berbicara tentang suatu corak keagamaan
yang tak ia "restui". Navis sedang menggugat kesalehan
ritual: jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan
berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima
waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah salat, dan
seberapa sering salat sunat ia lakukan.

Pendek kata, kesalehan itu ditentukan berdasarkan ukuran
serba legal formal sebagaimana kata ajaran. Dan biasanya,
untuk ini ada-ada saja orang yang merasa memiliki otoritas
buat menilai kredibilitas moral orang lain. Ia menjadi
semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.

Islam bukan agama individual. Ajaran yang dibawa Gusti
Kanjeng Nabi Muhammad itu, dari "atas" memang dirancang buat
rahmat bagi semesta alam. Orang yang paling saleh pun dengan
demikian tak punya hak monopoli atas agama itu.

Kita tak berhak menentukan tingkat kesalehan tetangga
sebelah. Dan tak satu pun di antara kita punya wewenang
"mengontrol" ibadah orang lain. Terutama bila hal itu
disertai sikap sinis dan cemooh, seperti Haji Saleh dalam
Robohnya Surau Kami itu.

Kita tahu Bang Navis orang Minang dan ia sedang bicara
tentang situasi kultural Minang. Tapi corak keagamaan itu
tak dengan sendirinya cuma milik orang Minang. Di Jawa pun,
pada saat yang sama, tiga puluhan tahun yang lalu, ketika
perpecahan ideologi kultural kuat mewarnai kehidupan
masyarakat, gejala serupa juga menonjol. Terjadinya
polarisasi santri-abangan, sebagaimana dirumuskan Clifford
Geertz, adalah produk zaman tersebut.

Namun juga tak berarti cuma milik zaman itu. Sekarang pun,
setelah tiga puluhan tahun yang berlalu, kecenderungan
agamis seperti itu toh masih juga terasa. Maka pada tahun
1980-an, ketika Gus Dur giat menganjurkan agar kita
istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang batalnya
wudlu, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana
kemiskinan umat ditangani, ia seperti memberi jawaban atas
persoalan yang merunyamkan A.A. Navis tersebut.

Dengan kata lain, Gus Dur sedang berbicara tentang kesalehan
sosial: suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh
rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam
praksis hidup keseharian kita.

Orang semacam Gus Dur dan mayoritas umat yang miskin tentu
saja juga memerlukan penyelamatan sorgawi seperti Haji Saleh
itu. Bedanya, Haji saleh mengesankan sikap hidup egoistis,
ingin mencari selamat sendiri, sedangkan Gus Dur tampak
altruis, ingin menikmati penyelamatan sorgawi bersama umat.
Kalau boleh, mungkin mau masuk sorga dengan sandal kulitnya
itu sekaligus.

Kecuali itu, Haji Saleh yakin bahwa sorga bisa digapai
dengan kesalehan ritual. Gus Dur melihat bahwa sorga justru
(setelah melihat konteks sosio-ekonomis umat yang
compang-camping) harus lebih diraih dengan kesalehan sosial.
Usahanya "menerobos" pintu Bank Summa untuk melakukan kerja
sama ekonomi dengan membuka BPR, misalnya, jelas mempertegas
wawasan keagamaannya.

Dalam kitab suci disebutkan bahwa sorga itu ada
tingkatan-tingkatannya. Tanpa menodai ajaran, saya sering
menafsirkan bahwa rasanya, sekarang pun saya sudah menikmati
sebagian kenyamanan sorga itu. Maka, tafsiran saya
selanjutnya, sorga bagi rakyat kecil, mayoritas umat yang
miskin tentu juga sederhana tingkatannya: yakni sekadar buat
pemenuhan kebutuhan jasmani (sandang, pangan, papan). Buat
kebutuhan rohani, (membaca salawat buat Kanjeng Nabi, maupun
segala puja dan puji kepada Allah) tentu dirasa sebagai
kebutuhan luks. Dus, belum merupakan kebutuhan primer.

Tafsiran serupa saya dengar pernah dibuat oleh seorang
pastur muda yang arif. Sehabis mengkhotbahi habis-habisan
para "domba" yang miskin, ia antar mereka pulang. Di tengah
nyala obor, di sepanjang jalan licin dan becek di daerah
Malang, terjadilah dialog antara sang pastur dan dan para
jemaahnya. Sang pastur kemudian menyimpulkan: saya ini
keliru. Kongkret, mereka butuh makan. Tapi saya beri mereka
cerita tentang sorga, cinta kasih, dan Tuhan Bapa ...

Pemikiran keagamaan seperti ini ternyata juga bukan monopoli
kaum terpelajar, seperti Romo Pastur muda tadi. Di Desa
Ciater, Serpong, tempat saya melakukan penelitian tentang
hubungan antara agama dan tingkah laku ekonomi, saya temukan
seorang haji tua, pedagang kecil, yang beranggapan bahwa
kesalehan itu terletak dalam praksis, bukan dalam doa-doa.

Ketika saya tanyakan kepadanya, orang yang bagaimana yang
disebut sebagai orang saleh, Haji Asnen bin Haji Thalib itu
menjawab:

"Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha," katanya.

Baginya, kedua hal itu harus diseimbangkan. Namun, jika ia
harus memilih, ia akan lebih memilih yang kedua dulu.

"Mengapa?" tanya saya.

"Karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberikan jawab
kongkret: kasih makan. Dan makan itu kita peroleh dari
usaha."

"Doa mah kaga enak dimakan," katanya lagi.

Dengan kata lain, haji dari Betawi ini pun sedang bicara
bahwa dalam kondisi tertentu, kesalehan sosial terasa agak
lebih, dan karena itu perlu didahulukan dari kesalehan
ritual. Dengan begini, gugatan Navis kini terasa berdengung
kembali dan memperoleh lagi relevansinya.

Bukan haji kalau ia tak bisa memperkuat argumentasinya
dengan contoh kuat. Maka, Haji Asnen pun mengutip sebuah
Hadis.

Katanya, seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain
di depan Kanjeng Nabi.

"Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Gusti Kanjeng
Nabi Muhammad SAW.

"Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan
khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk
berdoa."

"Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya
Kanjeng Nabi lagi.

"Kakaknya," sahut sahabat tersebut.

"Kakaknya itulah yang layak disebut saleh," sahut Kanjeng
Nabi lebih lanjut. Sahabat itu diam. Sebuah pengertian baru
terbentuk dalam benaknya.

Ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas
diletakkan pada tindakan nyata. Kesalehan, jadinya, lalu
dilihat dampak kongkretnya dalam kehidupan sosial. Tentu
saja, hanya kesalehan sosial yang bisa diukur dengan cara
seperti itu.

Dalam agama, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan
wajah sebuah kemestian yang tak usah ditawar. Secara
normatif, keduanya haruslah merupakan bagian hidup tiap-tiap
hamba.

Kita, pendeknya, selalu diminta tampil ideal. Artinya,
secara ritual kita saleh, secara sosial pun kita mestinya
saleh juga.

Maka, betapa pun pahitnya harus diakui bahwa memang, silang
selisih antara mereka yang lebih menggarisbawahi kesalehan
ritual dengan mereka yang lebih memilih kesalehan sosial
masih bisa terjadi terus-menerus. Ini tak menjadi soal.
Sebab, bukankah silang selisih itu sendiri merupakan sebuah
dialog untuk mencapai takaran ideal itu juga?

---------------
Mohammad Sobary, Jawa Pos, Minggu Legi, 29 Desember 1991

Jumat, 19 Desember 2008

Tulisan Dari Mas Prie GS

DISAYAT, DIGUNDULI, DISETERIKA

JUDUL di atas bukan gambaran pemandangan di sebuah kamp penyiksaan melainkan cukup terjadi di rumah Apriyani, di Cibeber Bekasi. Di rumah itulah, selama dua bulan, ia dikabarkan menganiaya pembantunya, Haryanti, wanita asal Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.

Selama itulah, setiap kesalahan kecil, berarti bencana bagi Haryanti. Bencana itu bisa berupa pukulan balok kayu, jambakan dan sayatan pisau. Puncaknya adalah ketika kepala pembantu itu digunduli dan pahanya diseterika. Oya, dalam aksi aniaya itu, Apriyanti tidak sendiri. Ia juga dibantu anak lelakinya yang mulai pintar menghantamkan balok kayu ke tubuh sang pembantu. Bantuan ini termasuk luar biasa mengingat si anak baru duduk di kelas 1 SD.

Cerita di atas setidaknya membuktikan dua hal. Pertama, betapa praktek perbudakan belum selesai di Indonesia. Kedua, betapa masih serius hambatan usaha pemberdayaan dan penyadaran perempuan.

Soal perbudakan itu, kita memang pernah sangat sukses mengadopsi kebiasan kaum feodal, meski kita cuma feodal gadungan. Di masa lalu, siapapun kita, meskipun bukan priyayi beneran, sepanjang telah bisa mengangkat pembantu, akan langsung mendapat sebutan bendara. Para pembantu itu, berapapun kita bayar, ia datang kepada kita tak lebih untuk ngenger, untuk suwita atau mengabdi. Maka status mereka adalah abdi. Bagi seorang abdi, jangankan bicara soal bayaran tinggi, diizinkan untuk mengabdi pun sudah merupakan anugerah. Maka kekuasaan bendara pada abdinya nyaris mutlak. Kalau perlu boleh main sayat dan main seterika seperti yang terjadi di Bekasi itu.

Sekarang soal pemberdayaan dan penyadaran perempuan itu. Betapa lambat usaha ke arah ini berjalan. Ketika biro-biro jasa mendidik para pekerja, rasanya mereka cuma mengajari bagaimana cara merawat bayi, mencuci dan menyeterika. Mereka tidak diajari, misalnya, agar segera lapor polisi jika dianiaya, agar secepatnya menunjuk pengacara jika hak-haknya terganggu. Tips mengatasi majikan sadis adalah kurikulum yang tak pernah ditanamkan di benak mereka.

Kesadaran atas persoalan-persoalan hukum praktis, kesadaran atas hak-hak profesi, seperti sengaja dijauhkan dari mereka. Betapa mereka sengaja didesain sebagai mesin. Tak pernah diyakinkan bahwa mereka bukan jongos, melainkan para profesional.

Maka orang-orang ini harus berani pasang harga, kalau perlu menolak sebutan pembantu yang meremehkan itu. Bahwa menanak nasi dan merawat bayi harus dianggap sama susahnya dengan membangun jembatan layang dan gedung-gedung tinggi. Orang yang menganggap pekerjaan pembantu sebagai murahan, biarkan menangani pekerjaan itu sendiri. Biarlah Michael Jackson menyeterika bajunya sendiri. Biarlah para pejabat, pengusaha, tauke, insinyur, dokter... ngepel lantai mereka sendiri.

Ya, kaum wanita, baik yang tengah menjadi pembantu maupun para ibu rumah tangga, sebaiknya segera menyadari hal ini. Jika suami Anda adalah orang yang gemar main pukul dan menganiaya, laporklan saja ke polisi. Jika status perkawinanmu digantung, jika dia menyiksamu dengan cara enggan menceraikanmu, tunjuk pengacara untuk membelamu. Buktikan bahwa engkau bukan pihak yang gampang diremehkan dan disakiti. Tapi betapa banyak para wanita yang memilih menahan deritanya secara sembunyi-sembunyi.

Nasihat ini bukan untuk mengajarimu menjadi wanita kurangajar, melainkan sekadar untuk mengingatkan bahwa engkau tak selemah yang engkau duga. Tahukah engkau kenapa Haryanti sampai bisa diseterika dan digebuki bahkan oleh anak SD? Salah satunya ialah karena ia tak pernah memberikan perlawanan apa-apa. Ia selama ini lebih percaya bahwa dirinya adalah abdi yang bahkan kepalanya boleh begitu saja digunduli. (cn01)

(PrieGS/)

Tulisan Dari Mas Prie GS

MEMANDANG DARI LAIN JURUSAN

SUDUT pandangku tentang diriku ternyata sangat berkaitan dengan sudut pandangku dengan rasa cemburu. Ketika aku memandang diriku sebagai pemain gitar, senang sekali aku jika ada pemain gitar yang lebih buruk kualitasnya dariku. Kepadanya aku merasa menang dan kalau ia mau, aku bisa menasihatinya berlama-lama, bukan untuk membuatnya pintar, tetapi lebih dari sekadar untuk meneguhkan kemenanganku. Buktinya, kalau anak itu nanti benar-benar pintar karena nasihatku dan malah menyalip kemampuanku, murkalah hatiku.

Tetapi ketika hobi main gitar ini aku tinggalkan dan aku berpindah hobi menjadi pelukis, cuma soal-soal lukisanlah yang bisa membuatku cemburu. Pandanganku terhadap dunia gitar menjadi dingin dan datar. Walau seluruh gitaris terbaik di dunia bergabung untuk memanas-manasi hatiku, aku akan melihatnya sebagai sekadar pertunjukan. Saling cemburu yang kualami dulu kini kutatap sebagai soal yang menggelikan.

Apakah ini berarti aku sudah makin bijak dan matang? Tidak. Kecemburuan itu cuma sekadar sedang berpindah tepat. Kali ini ke dalam dunia seni lukis. Seluruh soal menyangkut lukisan membuatku peka. Seluruh pembicaraan tentang lukisan tanpa melibatkan namaku akan kutafsirkan sebagai penghinaan. Dan ketika dari seorang pelukis aku berpindah ke seni sastra, seluruh soal lukisan yang dulu aku anggap sebagai soal terpenting di dunia itu membuatku malu. Lukisankanku yang kuanggap sebagai mahakarya malah bisa kubagi-bagikan gratis belaka. Di antaranya ia teronggok di tumpukan gudang dan meranggas oleh ketidakpedulian. Tetapi kepada siapa saja sastrawan seangkatan yang mulai mendapat pujian, hatiku jadi tidak tenang karena menurutku, seluruh pujian itu hanya layak dialamatkan kepadaku. Jika ada kritikus lupa menyebut-nyebut namaku dalam deretan sastrawan masa depan, ia akan kutetapkan sebagai lawan.

Aku tak tahu berapa banyak lagi perpindahan minat ini harus kulakukan karena kemungkinan hidup ini ternyata begini kaya dan terbuka. Karena hanya dengan menggesar bacaanku saja bisa berubah minatku atas segala sesuatu. Hanya dengan menggeser pergaulanku, bisa bergeser pula profesiku. Tetapi ke manapun minat dan proses itu menuju ia selalu bertemu dengan rasa cemburunya yang baru. Pilihan-pilihan yang baru itu rasanya selalu diikuti oleh kerikil dalam sepatu. Tiba-tiba di dunia baru itu, ada juga orang yang bakatnya melebihi bakatku, ada keberuntungan yang tampaknya lebih besar tapi bukan untukku. Dan itu biasa membuatku marah setiap waktu.

Lalu siapa kamu, makhluk bernama cemburu yang tak lelah-lelahnya mengikutiku itu? Oh, ia ternyata bukan ia yang setia mengikutiku, melainkan akulah yang setia mengajaknya. Ketika aku berpindah tempat, sang cemburu ini kuiminta untuk dengan sengit mengawasi apa saja yang sehubungan dengan duniaku yang baru. Lalu dunia itu menjadi soal yang amat serius, yang paling penting dan paling mendesak untuk diurus. Kepada sola-soal lain aku mudah menjadi rileks tetapi kepada soal yang satu itu, aku mudah menjadi tegang.

Ternyata inilah pokok persoalannya: begitu yang satu mementing, yang lain menyederhana. Begitu yang satu memfokus, yang lain mengabur. Hidup dengan satu fokus memang ada kalanya penitng. Tetapi ternyata memfokuskan yang satu bukan berarti boleh mengaburkan yang lain. Mementingkan yang satu bukan berarti boleh meremehkan yang lain. Karena semua ternyata penting dan tidak ada yang paling penting sehingga tak perlu ada yang paling aku irikan cuma gara-gara sedang ku anggap paling penting.

Maka ketika aku cemburu pada satu hal, aku cukup mengedarkan pandanganku ke segenap penjuru, untuk mengagumi seluruh kepentingan yang disebar merata di seluruh jagat raya sehingga semua soal lebih mudah terlihat setara.

(Prie GS/cn05)